Kampung Bonti dan Para Perantaunya

JALANAN itu menanjak dan mencuram. Sebagian sudah di beton dengan semen dan sebagian lagi masih berupa batu gunung yang tersusun dan beberapa bebatuan juga berhamburan. 

Di sisi kiri kanannya, jurang dan tebing. Meski sudah di cor, untuk melewati jalan ini tetap harus extra hati-hati, apalagi jika musim hujan. Karena licin dan kemiringan yang mencapai 60 derajat.

Jalan tersebut merupakan satu-satunya akses warga kampung Bonti jika ingin ke pasar, ke sekolah (bagi yang lanjut SMP dan SMA/SMK), atau secara umum jika ingin keluar dari kampung. Butuh waktu 2 hingga 3 jam menempuh jalan tersebut. 

Bonti merupakan salah satu kampung terpencil yang berada di Kelurahan Balocci Baru, Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep. Di kampung inilah saya dilahirkan 22 tahun silam.

Kedua orangtua saya juga dilahirkan di kampung yang dikelilingi oleh gunung batu ini. 

Begitupun dengan dua saudara saya -Darwis dan Fatmawati- juga lahir di kampung yang hingga saat ini belum juga ditemukan oleh google map.

Jangankan akses untuk google map, jaringan seluler pun masih sangat sulit ditemukan. Begitupun dengan sinar lampu listrik PLN hingga saat ini warga tak kunjung merasakan cahayanya. 

Mereka masih menggunakan listrik tenaga Surya yang dayanya sangat terbatas. Bagi yang memiliki televisi, mereka menggunakan mesin genset sebagai sumber listrik.

Mayoritas penduduk kampung tersebut bekerja sebagai petani. Ketika musim hujan, mereka menanam padi, dan ketika kemarau, sawahnya ditanami kacang tanah, kedelai, jagung, dan sebagainya.

Sebagian besar, bahkan lebih banyak penduduk yang pergi merantau ketimbang yang bertahan dengan nasib pekerjaan yang tidak pernah berubah sejak nenek-kakek terdahulu.

Ada yang merantau ke Sumatera, Kalimantan, Jawa, Papua, hingga ada yang mengadu nasib sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negeri Jiran dan Arab Saudi. 

Sementara yang tinggal di kampung bisa dihitung jari. Mungkin sekitar 30 hingga 50 orang yang bertahan.

Saya sendiri bersama keluarga mulai meninggalkan kampung tersebut sejak saya masih kanak-kanak. 

Awalnya kami merantau ke Kabupaten Maros, dan pada tahun 2005 kami merantau lagi ke Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Selama kurang lebih 10 tahun di daerah yang bersuku Kaili itu, kami akhirnya kembali ke Maros.

Bukannya kembali ke kampung tempat dilahirkan, melainkan tinggal dan berdomisili di kabupaten yang membatasi antara Pangkep dan Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan ini. 

Orangtua saya lebih memilih bertani di Maros. Begitupun dengan saudara saya lebih nyaman bekerja di kabupaten yang bermotto "Maros Baik" ini. Sementara saya masih kuliah di Makassar.

Meskipun telah lama merantau, kami tidak akan pernah lupa dengan kampung halaman. Hampir setiap hari raya Idhul Fitri ataupun idul Adha, kami menyempatkan untuk kembali. 

Walau hanya sekadar bersilaturahmi dengan sanak keluarga, kerabat, sekampung, dan yang utama ialah berziarah kubur.

Kami selalu mendatangi kuburan para nenek, kembali mengingatnya, mendoakannya, dan yang terpenting ialah mengingatkan kepada diri sendiri akan kematian. 

Bahwa kita semua pasti akan mati. Dengan begitu bisa menggugah hati kita untuk selalu sadar dan mengingat sang pencipta.

Kemarin, Kamis 6 Mei 2019, tepat sehari setelah lebaran Idul Fitri, saya bersama saudara dan beberapa keluarga kembali pulang kampung meskipun tak bermalam.

Melalui suasana inilah saya kembali bertemu dengan warga kampung di sana yang sebagian besar saya sudah tidak mengenalinya lagi. 

Namun ketika menyebut nama orang tua atau nenek, pikiran saya kembali menggali ingatan 10 dan 20 tahun lalu. Meskipun saya tidak mengenali mereka, setidaknya nama mereka, orang tua mereka, atau nenek mereka sudah melekat di ingatan.

Kami kembali merajut tali silaturahmi dengan keluarga. Ada yang 2 tahun tidak pernah bertemu, ada yang 3 tahun, bahkan ada tante yang sejak lahir saya rasa belum pernah bertemu dengannya. 

Meskipun tidak pernah bertemu sebelumnya, tetapi saya mengetahui namanya dan saudaranya dari orangtua saya. Jadi saat bertemu cukup menyebut nama dan orangtua kami langsung akrab.

Salah satu keluarga saya yang akrab dipanggil Aji (saya juga tidak tahu nama lengkapnya) juga baru pulang dari tempat rantauannya di Manokwari, Papua. 

Seingat selama ini, saya belum pernah bertemu dengannya. Hanya melalui media sosial kami kadang saling menyapa.

Semoga dengan hari raya ini bisa kembali merajut silaturahmi, kembali bertemu keluarga dan kerabat, dan tentunya bisa kembali berkumpul di kampung halaman dari berbagai penjuru Nusantara. 

Seindah apapun kota rantauan, semodern apapun kota rantauan, kami tetap rindu dengan kampung halaman yang masih sangat tradisional dan terkungkung gunung batu.

Demikianlah cerita Kampung Bonti dan para perantaunya. Terimakasih sudah membaca sampai selesai.

Salam,

signature
Next Post Previous Post