Air Sebagai Sumber Kehidupan

Minggu lalu saya menyempatkan waktu untuk pulang kampung. Pulang kampung saya mungkin berbeda dengan pulang kampung orang lain secara umum.

Biasanya, pulang kampung identik dengan perjalanan jauh. Melewati beberapa kota, provinsi bahkan pulau. Seperti halnya teman saya yang kebanyakan pulang kampung saat ini karena libur semester. Ada yang ke Mamuju, Palu, Kalimantan, Jawa, hingga Papua.

Meskipun dekat, daerah saya bisa terbilang cukup kampungan. Selain karena jaringan masih susah, jumlah kendaraan pun juga masih kurang.

Kampung saya di Maros. Lebih tepatnya di Dusun Balocci, Kecamatan Benteng Gajah, Kabupaten Maros. Hanya butuh waktu 1 jam perjalanan menggunakan kendaraan sepeda motor.

Mayoritas penduduk di kampung saya berprofesi sebagai petani dan peternak. Mereka menggarap sawah dan beternak sapi.

Bulan Desember merupakan waktu yang mereka tunggu-tunggu. Pasalnya, di akhir tahun ini, para petani sudah mulai menggarap sawah untuk ditanami padi.

Namun untuk tahun ini, tampaknya mereka terlambat menggarap sawah. Pasalnya air yang ingin digunakan tidak ada. Sudah beberapa bulan tidak turun hujan.

Jangankan air untuk menggarap sawah, air sumur untuk keperluan sehari-hari pun susah. Di rumah, hanya ada satu sumur tempat kami mengambil air untuk keperluan hidup seperti untuk minum, mandi, hingga mencuci.

Di sumur terdapat sekitar 6 dinamo pengisap air. Jadi ada enam keluarga atau rumah hanya berharap air di sumur tersebut. Tidak jarang ibu saya menghidupkan dinamo di waktu subuh sebelum didahului oleh tetangga lain untuk ambil air sumur. Jika pagi atau siang, biasanya air sumur sudah mulai kering.

Suatu waktu, seorang paman bertamu ke rumah dan menceritakan keluahannya karena ingin menggarap sawah tetapi belum ada air. Dan memang, topik pembicaraan orang di kampung hampir tiap hari trending berharap hujan turun dengan deras.

Hanya semalam di kampung, saya kembali lagi ke Kota Makassar untuk kembali melakukan aktivitas seperti biasanya. Setiba di Sekretariat, tempat tinggal saya di Makassar, air juga tidak mengalir.

Katanya sedang ada pengerjaan pipa PDAM sehingga untuk beberapa saat air tidak mengalir. Salah seorang penghuni di sekretariat malah membeli galon seharga Rp5.000 untuk digunakan bercebok dan mandi.

Ya sudah seperti orang kaya. Biasanya air galon digunakan untuk minum, kini juga digunakan untuk bercebok dan mandi.

Beberapa diantara teman pun juga ada yang tidak mandi seharian gegara tidak ada air. Padahal air adalah sumber kehidupan.

Berbeda 180 derajat dengan daerah di Jakarta, Padang, dan beberapa kota lainnya yang kelebihan air. Daerah mereka kebanjiran sehingga sulit juga dalam beraktivitas.

Terdapat banyak pelajaran yang bisa kita petik dari kejadian alam seperti ini. Segala sesuatu yang berlebihan juga tidak baik, dan jika kurang juga tidak baik. Seperti itulah sifat manusia, selalu ingin yang sempurna.

Jangan mengeluh, jika diberi cobaan. Tetapi perbanyaklah bersyukur. Mungkin ada tingah kita sebagai manusia yang merusak lingkungan sehingga terjadi seperti ini.

Kini, musim hujan sudah mulai mengguyur Kota Makassar. Beberapa drainase sudah hampir penuh. Jika tidak segera diatasi, bisa berakibat banjir seperti awal tahun lalu.

Banjir di mana-mana hingga mengakibatkan air sampai di lutut, hingga dada. Bukan hanya banjir, longsor pun terjadi di daerah pegunungan, beberapa jembatan rubuh, dan sebagainya.

Mungkin ini juga sudah pertanda kalau dunia sudah terlalu tua. Begitu banyak hutan yang digunduli, sehingga tidak ada lagi akar pohon yang menahan air. Terlalu banyak pantai yang ditimbun untuk di jadikan pulau buatan sehingga lautan tidak sanggup menampung air lebih banyak lagi.

Serta mulainya menipis lapisan ozon di angkasa sehingga terjadi musim kemarau yang panjang dan udara semakin panas yang sampai ke permukaan bumi.

signature
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url