Inferioritas Valentine Days

SEPANJANG hari ini, media sosial saya dihiasi dengan kata-kata valentine day. Beberapa kawan memberikan bunga dan cokelat kepada pasangannya. Katanya sih sebagai bentuk kasih sayang. Begitu pun sebaliknya, banyak kaum hawa yang menunggu seseorang datang memberinya bunga atau cokelat.

Mendengar ungkapan kasih sayang serasa sangat adem, tenteram, dan damai. Jika itu dilakukan oleh semua orang dan diberikan kepada semua orang, alangkah damainya kehidupan di dunia ini. Tapi apakah ungkapan itu selaras dengan kata valentine day yang katanya bermakna hari kasih sayang?

Valentine day merupakan budaya barat yang telah membudaya hampir ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Kebiasaan ini dirayakan setiap tanggal 14 Februari dan identik dilakukan oleh para remaja.

Jika menilik sejarah, dilansir dari tirto.id, valentine berawal dari festival Romawi Lupercalia yang diadakan pertengahan Februari. Festival tersebut merayakan kedatangan musim semi, termasuk upacara kesuburan dan hari perjodohan bagi pria dan wanita dengan lotre.

Pada akhir abad ke-5, Paus Gelasius I menggantikan Lupercalia dengan Hari St. Valentine. Valentine mulai lekat dengan keromantisan mulai sekitar abad ke-14.

Catatan lain menyatakan, nama Valentine berasal dari Santo Valentine dari Terni, seorang uskup. Legenda umum lainnya menyatakan St. Valentine menentang perintah kaisar dan diam-diam menikahkan pasangan suami istri untuk menyelamatkan suami dari perang.

Membantu orang Kristen adalah sebuah pelanggaran bagi Kaisar (pada masa itu Kristen dianggap agama sesat di Roma). Valentine kemudian ditangkap dan dipenjara.

Saat Kaisar memanggilnya, dengan berani ia justru bersaksi dan menyuruh Kaisar bertobat. Valentine dihukum mati karenanya. Dia dirajam batu sebelum kepalanya dipenggal di luar gerbang Flaminia.

Mulanya valentine day dimaknai sebagai hari kasih sayang dan dirayakan oleh masyarakat Eropa dan Amerika. Kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Di Indonesia sendiri, perayaan valentine menimbulkan pertentangan dari berbagai pihak. Meskipun begitu, banyak diantara mereka tetap merayakannya.

Di Makassar sendiri, Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan telah mengeluarkan surat edaran larangan merayakan valentine di lingkup pendidikan. Hal tersebut dilakukan karena bisa merusak moral anak bangsa.

Secara pribadi saya sangat setuju dan mendukung larangan tersebut. Pasalnya, borok budaya valentine sudah akrab di telinga masyarakat dengan tindakan yang asusila.

Kebanyakan yang merayakan valentine day ialah remaja yang masih berpacaran. Mereka mengungkapkan bentuk kasih sayangnya melalui bunga, cokelat, kado, bahkan harga diri mereka rela diberikan.

Bukankah ini sudah melenceng dari makna kasih sayang. Mungkin mereka tidak mengetahui sejarah valentine day, sehingga mereka hanya ikut-ikutan dengan orang luar, atau mungkin dengan sengaja memanfaatkan perayaan yang dibungkus dengan kata "Kaasih Sayang" untuk memuaskan hawa nafsunya.

Sudah sepantasnya kasih sayang itu diberikan kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan dalam waktu apapun. Kepada orang tua, keluarga, teman, dan seluruh makhluk hidup. Dengan begitu bisa tercipta perdamaian di muka bumi ini.

***

DEMIKIANLAH catatan harian tentang inferioritas valentine days. Terimakasih sudah membaca sampai selesai. Silahkan tinggalkan pesan di kolom komentar jika Anda punya saran, kritik, atau pertanyaan seputar topik pembahasan.

Salam,

signature
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url