Acara Bakar Ikan di Posko Samping Borong Bambu Jelang Sahur

Malam ini, Selasa, 28 April 2020, adalah malam kelima di Bulan Ramadhan. Sepulang dari salat tarawih, seperti biasanya saya terus pergi nongkrong di rumah om saya. Di sana sekumpulan anak muda dan "bekas anak muda" di kampung kami berkumpul setiap malam.

Kami menyebut rumah tersebut "Posko Samping Borong Bambu". Lokasinya berada di sekitar kaki Bulu Saukang, Dusun Balocci, Desa Benteng Gajah, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.

Malam ini hanya ada tuan rumah yakni om saya sekeluarga, Kirman, Naning, Iwan, Nasril, saya, dan dua orang yang mengaku "bekas anak muda" juga ikut nongkrong. Namanya tak perlu disebutkan. Tidak sopan menyebut langsung namanya dan kurang elok dibaca jika menggunakan kata panggilan di depan namanya. Hehehe.

Saat masuk di rumah, terlebih dulu dihidangkan cendol agar-agar sisa buka puasa yang belum habis. Cukup semangkuk. Setelah itu, kopi hitam panas pun menyusul.

Rasa pahit bercampur manis yang pas dalam segelas air panas terasa begitu nikmat masuk ke tenggorokan. Meski udara dingin mulai menusuk dari sekeliling rumah yang penuh dengan aneka pohon kayu, tumbuhan liar, dan borong bambu. Namun hawa dingin terusir oleh teguk demi tegukan kopi panas buatan Tante saya.

Malam semakin larut. Kopi pun sudah mulai habis. Sementara obrolan masih tetap seru. Obrolan seputar pekerjaan di sawah dan puasa yang telah berlalu hari itu cukup hangat dalam dinginnya malam. Setidaknya obrolan malam ini jauh lebih positif daripada berita covid-19 yang banyak mengandung hoaks di media sosial.

"Seandainya tidak minumka air sama makan tadi siang, mungkin tidak sampai puasaku," celoteh salah seorang diantara kami.

"Saya ka kering mami tenggorokan ku tadi gara-gara maangkat roda-roda. Panasna tommo naong" ocehan teman lain.

"Saya setengah 11 ji kayaknya tadi kuselesai massangki, langsung meka pulang di rumah-rumah sawah tidur. Maupi Ashar baru bangunka," kata teman yang satu lagi.

Yah, entah itu benar atau hanya celoteh untuk melepas tawa, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Yang jelas obrolan ini membuat sudut-sudut bibir selalu tertarik hingga tawa meledak. Itu sebenarnya hanya bumbu dari inti perbincangan kami malam ini.

Om saya juga ikut menambahkan. "Iya bah, panas memang juga tadi. Saya sudahku massempro' di sawah, pergika di sungai istirahat," katanya.

"Sementara jongkok-jongkok ka di batu na ada ikan gabus besar sekali kuliat di sungai," ujarnya lagi.

Mendengar ucapan tersebut, Kirman tiba-tiba saja menimpali.

"Turunki (surut) memang air sungai ini jadi kelihatan ikan," timpalnya.

"Bagus ini pergi ma'betta bale. Ayo pergi ma'betta," katanya mengajak Iwan.

Tidak pikir panjang, Iwan pun mengiyakan. Tak mau ketinggalan, Nasril juga ikut.

Sementara saya, Naning, dan tuan rumah sekeluarga hanya di rumah.

Malam semakin larut. Sekitar setengah sebelas malam, Kirman pulang ke rumah ganti baju dan celana sekaligus mengambil senter dan parang. Begitupun Nasril.

Masing-masing sudah memegang parang. Tak ketinggalan, ember untuk tempat ikan.

Setelah tiba, saya dan Naning mengantar mereka ke hilir sungai yang berada di pinggir kampung. Sekitar jam 11 malam mereka menyusuri sungai sampai jauh ke belakang sawah di hulu sungai. Mereka menyusuri sungai dua jam lebih.

Arloji sudah menunjukkan angka 00.00. Pertanda hari telah berganti dari Selasa menjadi Rabu. Mereka pulang pukul 1 dinihari lewat.

Berbagai jenis ikan dalam ember mereka bawa pulang. Ada ikan gabus, lele, belut, mujair. Jumlahnya sekitar 20 ekor.

Naning langsung mengambil alih membersihkan kotoran dan mengiris-iris badan ikan tersebut. Saya menyalakan api. Om saya meracik bumbunya. Lombok, garam, vetsin, cemangi, dan tomat bakar dicampur.

Sementara Tante saya dan kedua anaknya, Ayu dan Farhan sudah tidur lelap di kamar.

Setelah api membara, ikan kami tusuk menggunakan bambu. Maklum, kami tidak memiliki pembakaran ikan. Hanya bambu yang banyak di sekitar rumah.

Sekitar setengah 3 subuh, semua beres. Ikan sudah matang, nasi, sambal, dan piring sudah siap di teras rumah. Waktunya makan.

Tak lupa, kami mengabadikan ini dengan memotretnya. Lalu mengirimkan teman-teman lain yang malam ini tidak bergabung.

Hehe kebiasaan orang +62, selalu memamerkan segala kenikmatan kepada mereka yang tidak ada. Harapannya agar mereka selalu hadir, agar tidak ketinggalan nikmat Tuhan yang datang secara tiba-tiba.

Nasi hangat dan ikan panas dicampur racikan Lombok, tomat bakar, cemangi membuat semua tiba-tiba influenza. Cairan yang keluar melalui lubang hidung sontak terisak kembali saat menghampiri bagian atas bibir. Telinga serasa berasap. Pedas. Hingga air mata tak terasa menetes dengan sendirinya. Maka nikmat Tuhan manalagi yang kamu dustakan.

"Massipa' pa iyya risa'ring," kata Naning.

"Na kalau beginiji memang naenak. Kalau baruki dari tangkapki na langsung dibakar baru dimakan," kata Kirman.

"Kalau bermalammi ikan ka, tidak terlalu enakmi dirasa," tambahnya.

Sambil makan, sekelompok anak muda dan mungkin juga "anak-anak menuju anak muda" pawai di sepanjang jalan menggunakan sepeda motor bersuara bogar sambil teriak membangunkan warga makan sahur. Saya yakin, dalam kelompok tersebut, tidak ada "bekas anak muda" yang ikut bergabung.

"Sahur...sahur...sahur....bapak-bapak...ibuk-ibuk...bangunmeki makan sahur....," Teriak mereka.

"Brum brum brum...prokkoprokokoprokprok....ngengngngengengeng...," Suara sepeda motornya.

Setelah makan, sekitar pukul 3 subuh, kami yang bukan tuan rumah siap-siap pulang ke rumah masing-masing.

"Langsung mami kukasi bangun sahur orang di rumah ini kalau sampaika, baru langsung tidur," kata Iwan.

Kirman juga berceloteh. "Kalau saya kopi mami kuminum ini kalau sampaika," ucapnya.

Sesampainya di rumah, orang di rumah ternyata juga belum bangun sahur. Saya membuka pintu dan berjalan dengan sangat pelan lalu mengingatkan ibu untuk makan sahur.

"Sedikitpi lagi. Jam empatpi baru makan," kata ibu.

Berbaring sejenak, kemudian bangun buat segelas susu. Sambil menunggu imsak, saya menulis cerita ini sambil minum susu dan biskuit Roma Kelapa.

Saat adzan subuh berkumandang, saya dan bapak bergegas menuju masjid tuk mendirikan salat subuh. Lantunan imam membaca surah Al-fatihah, Al-Mulk dan doa Qunut begitu merdu menjelang fajar.

Saya sendiri tidak mengenalnya. Usianya kelihatan masih sangat muda. Mungkin seumuran dengan saya. Hehe maklum, saya jarang di kampung, jadi tidak mengenali banyak orang di sini.

Sepulang dari salat subuh, saya duduk sejenak, kemudian bermain cilukba dengan keponakan yang baru berusia 11 bulan. Ia baru saja bangun dan menonton berbie sedang menyanyi di televisi.

Hingga akhirnya pagi mengusir malam. Tapi mata enggan terpejam. Mungkin efek kopi dan ikan bakar tadi malam.

Hehe, sekian dulu cerita tadi malam. Wassalamu'alaikum...

signature
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url