Pendidikan di Tengah Pandemi

BEBERAPA hari yang lalu saya ke rumah paman mengadar. Rumahnya hanya berukuran 4x6 meter berdiri di sekitar kaki gunung Saukang, Dusun Balocci, Desa Benteng Gajah, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.

Aneka macam tumbuhan seperti rumput liar, pepohonan, dan sayur mayur tumbuh subur di sekitaran rumah tersebut. 

Pohon kelapa, Jati, pisang, kopi, kapuk, bambu, labu, kacang panjang, paria, nenas, lingkuas, dan sebagainya sangat ramai di sekelilingnya.

Hijau. Sejuk. Adem. Damai. Meskipun pandemi melanda.

Suasana masih pagi. Butiran air di sudut-sudut dedanuan jatuh secara perlahan. Sinar mentari mulai memancar ke teras rumah. Ternak ayam pun berkeliaran mencari makan.

Di teras rumah, Gitaris Ayu Winata, Farhan, dan Husnul sudah siap belajar. Peralatan belajar juga sudah lengkap, buku, tas, pensil, dan seluler cerdas. Tante saya pun juga ikut membimbing mereka belajar di rumah.

Gitaris Ayu Winata atau Ayu saat ini duduk di kelas VIII MTS DDI Sakeang. Farhan, adiknya baru kelas 1 di MIS DDI Sakeang. Sementara Husnul, adalah anak tetangga seumuran Farhan yang datang belajar bersama.

Kata demi kata makna surah Al-Quraisy mereka tulis menggunakn pensil 2B. Foto pengertian surah tersebut dikirim oleh gurunya kemudian mereka tulis ulang. Gawai mereka letakkan di depan dengan posisi sedikit miring.

Mereka menulis di atas tempat duduk yang terbuat dari balok dan papan dengan tinggi 5 cm. Bangku-bangku ini sebenarnya biasa tante saya gunakan duduk di depan dapur saat memasak.

Di Tanetepanasa, salah satu kampung yang sedikit jauh dari Dusun Balocci. Jika ingin ke sana, terlebih dulu melalui beberapa pegunungan yang jalannya memiliki turunan dan tanjakan yang curam. 

Di sana, beberapa keluarga saya juga tinggal dan sekolah di Al-Muhajirin DDI Sakeang, Balocci.

Fatir, sepupu saya yang juga masih SD terpaksa berjuang untuk tetap belajar di tengah pandemi. Bagaimana tidak, belajar dari rumah ini membutuhkan teknologi agar materi pembelajaran bisa tersampaikan.

Sementara di kampung tersebut, masih banyak orangtua siswa yang tidak memiliki gawai android. Termasuk tante saya, ibunya Fatir.

Belum lagi jaringan yang tidak mendukung. Jangankan jaringan internet, sekadar signal seluler nokia komuniketer saja cukup susah ditemukan.

Untuk menerima materi dari sang guru, sejumlah anak-anak berkumpul di salah satu tempat. Di sana mereka dipandu oleh orang dewasa yang memiliki seluler pintar. 

Melalui orang dewasa inilah, mereka menerima materi dari guru, kemudian mengirimnya kembali setelah kelar.

“Tujuh orangka di sana belajar. Baru satuji HP dipakai,” kata Fatir.

Rumah yang mereka tempati belajar juga masih sulit menjangkau jaringan internet. Sehingga untuk menerima tugas dari guru, harus ke tempat tinggi atau titik tertentu mencari jaringan, setelah pesan guru masuk, baru kembali ke rumah, begitupun saat mereka ingin mengumpul tugas.

“Jadi kalau sudah itu nakerja tugasnya, difotokanmi itu, baru pergi lagi cari jaringan baru dikirim tugasnya,” kata tante saya, ibunya Fatir.

Termasuk alternatif mudah menyampaikan materi pelajaran di saat penyakit yang mewabah ini, karena mereka belajar hanya sekadar menerima tugas atau foto dari guru, kemudian hasil tugas mereka juga di foto dan dikirim ke gurunya melalui pesan WhatsApp.

Sejak pandemi melanda, aktivitas belajar mengajar mereka di sekolah diliburkan dan digantikan dengan belajar di rumah.

Ini merupakan kebijakan Menteri Pendidikan untuk menghindari terjadinya penyebaran Corona Virus Disease atau covid-19. 

Bukan hanya di sekolah dan madrasah, tetapi juga perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Semua diimbau untuk belajar di rumah.

Berbagai kemudahan pun hadir dengan adanya dukungan teknologi yang semakin canggih. 

Berbagai aplikasi pembelajaran seperti google classroom, zoom, dan sejenisnya jadi media yang digunakan sebagaian besar masyarakat uatamanya di daerah perkotaan.

Berbagai operator telekomunikasi pun hadir dengan bantuan kuota gratis untuk aplikasi pembelajaran. Tentunya ini semakin memudahkan siswa dan guru.

Tapi itu hanya beberapa kalangan saja yang bisa menikmatinya. Orang-orang yang metropolis? Mungkin juga hanya sebagian. Apalagi di kampung saya.

Di sini, belajar dari rumah dengan menggunakan android dan kuota jaringan menjadi beban tambahan bagi para orang tua. 

Apalagi harga kuota internet terbilang mahal bagi masyarakat golongan menengah ke bawah. Itu bagi orangtua yang memiliki android.

Bagi mereka yang tidak memiliki, harus berkumpul di rumah tetangga yang memiliki alat tersebut. 

Selain beban tambahan pembeli kuota, orang tua juga mendapat tugas tambahan yakni harus mendampingi dan mengajar langsung anaknya di rumah, apalagi yang masih SD, masih dalam proses belajar menulis dan berhitung. 

Tidak jarang orang tua yang mengeluh karena kewalahan dalam membimbing anaknya.

Jangankan orang tua yang mungkin tidak pernah menempuh pendidikan formal, para guru saja yang sarjana dan menekuni pekerjaan tersebut tiap hari, kadang stress dalam mendidik anak yang bandel, apalagi orangtua yang tiap hari bekerja di sawah atau di kebun.

Selain melalui gawai, pemerintah juga memberikan kemudahan dan wadah pembelajaran melalui saluran TVRI. Tentunya ini juga cukup membantu anak bangsa untuk belajar di rumah.

Tapi lagi-lagi kemudahan ini belum bisa dinikmati oleh semua peserta didik di kampung. Tidak semua televisi memiliki saluran TVRI yang bagus. Dan tidak semua orang di sini memiliki televisi. Seperti halnya sepupu saya, Ayu dan Farhan. 

Suatu kesyukuran karena listrik sudah ada dan bisa menerangi mereka untuk belajar di malam hari, jika ada tugas yang berlebihan.

Tante saya mendapatkan berita masih melalui saluran radio HP Nokia 125 miliknya. Selepas salat subuh, ia biasnya memasang headset kemudian memutar saluran radio sampai pagi.

***

Setiap penyakit pasti ada obat penawarnya. Setiap masalah pasti ada solusinya. Dan sesudah kesulitan pasti ada kemudahan.

Dengan mewabahnya covid-19 ini, memberi banyak pelajaran bagi orang-orang yang mencoba membaca dan memahaminya. Karena dalam setiap peristiwa yang terjadi, ada pesan Tuhan yang ingin disampaikan.

Pada hari-hari yang telah lalu, kita sangat miris melihat wajah pendidikan kita. Ketika media massa ramai memberitakan orangtua memenjarakan guru hanya karena menghukum anaknya yang bandel dan susah diatur. Begitupun dengan aksi tawuran antarpelajar.

Saat ini, banyak orang tua mengeluh di media sosial karena tidak mampu mengendalikan anaknya belajar di rumah. Pusing, stress, marah, dan mungkin saja ada yang sampai memukul anaknya agar menurut dan belajar.

Mungkin, ini salah satu pesan Tuhan yang ingin disampaikan kepada para orangtua yang telah memenjarakan guru karena menghukum anaknya. 

Kita juga bisa membaca pesan Tuhan bahwa sayangilah anak tapi jangan berlebihan sampai-sampai menuruti semua keinginannya.

Saya yakin, semua guru pasti sayang kepada siswanya. Bahkan mungkin ada yang lebih sayang melebihi anaknya sendiri. 

Sehingga, hukuman yang diberikan kepada siswanya itu adalah bentuk kasih sayangnya agar siswanya mau berubah dan belajar.

Terakhir, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga pandemi dan wajah buruk pendidikan kita saat ini segera berlalu.(*)

signature
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url