Jangan Membanding-Bandingkan, Sekali Lagi Jangan!!!
Jangan membandingkan dirimu dengan orang lain. Karena akan ada yang merasa tersakiti. Entah dirimu atau orang yang kau bandingkan.
Kira-kira begitulah sepenggal kalimat yang terlontar dari
buah bibir seorang teman dalam sebuah cerita lepas. Saya lupa apa yang kami
bahas sehingga terlontar kata tersebut.
Ow iya, saya sudah ingat. Waktu itu, kami pernah menonton
sebuah film dokumenter yang berjudul SEMES7A. Film tersebut menceritakan
tentang bagaimana cara merawat lingkungan di tengah kerusakan ekosistem.
Beberapa hari setelah nonton bareng, tiba-tiba pandemi
melanda. Di sebuah perumahan, saya dan sekitar 7 orang berkumpul. Awalnya melakukan
diskusi dan penerimaan materi.
Setelah sesi penerimaan materi, kami makan malam bersama di
teras belakang rumah tersebut. Kemudian lanjut bercengkrama, cerita lepas, dan
sesekali merenungi kehidupan.
Salah satu diantara kami berpendapat, bahwa setelah menonton
film SEMES7A, khusunya pada cerita masyarakat Bali yang merayakan Hari Raya
Nyepi, semua orang berdiam diri di rumah selama satu hari satu malam.
Suasana lingkungan sekitar sangat sepi. Hanya suara binatang
yang sesekali terdengar.
Saya lupa bagaimana persisnya pernyataan teman saya itu, yang
intinya, ada narasi yang seolah membandingkan cara beragama orang Hindu dan
Muslim. Tak hanya antar dua agama tersebut, tetapi juga ungkapan perbandingan
antara orang yang beragama Islam dalam aliran tasawuf dan yang seperti pada umumnya.
“Kalau yang ahli tasawuf seperti di kampung itu, mereka
jarang salat, tetapi perilakunya sangat baik dan ramah ke orang lain. Sementara
di perkotaan banyak yang ahli ibadah, tetapi perilakunya ke orang lain yang
kurang baik,” kurang lebih seperti itu kata teman saya.
Padahal tidak semua seperti itu. Mungkin hanya sebagian yang kita lihat.
Diantara mereka yang ahli tasawuf juga memiliki perilaku buruk dan ada juga yang tetap rajin salat. Begitupun dengan mereka yang ahli ibadah misalnya. Banyak diantara mereka yang sangat rendah hati, dan memiliki perilaku yang sangat baik dengan orang lain.
Sekali lagi, jangan menilai agama dan keyakinan orang lain dari perilakunya. Kalau orang tersebut melakukan perilaku yang buruk, bukan karena agamanya, tetapi karena dari pribadinya.
***
Waktu SD, mungkin kelas 2 atau 3, guru matematika saya pernah mengajarkan,
bahwa dua bilangan tidak bisa dibandingkan jika penyebutya berbeda. Oleh karena
itu, terlebih dulu harus dikalikan penyebutnya agar memiliki nilai yang sama.
Sebuah teori yang sangat dasar sekali, tetapi memiliki makna
yang sangat berarti dalam kehidupan.
Betapa banyak orang yang selalu membanding-bandingkan anaknya
dengan anak orang lain. Membandingkan yang ia punya dengan kepunyaan orang
lain.
Padahal, sampai kapanpun, jika membandingkan diri sendiri
dengan orang lain, atau anak kita dengan anak orang lain itu tidak akan sama.
Pasti berbeda.
Mungkin, jika itu kita lakukan, kita akan bangga atau mungkin
jadi sombong ketika kita lebih baik daripada dia. Atau kita merasa sakit hati
ketika dia lebih baik dari pada kita.
Satu-satunya yang bisa dibandingkan adalah diri kita sendiri.
Membandingkan bagaimana perilaku, atau pengetahuan kita di masa lalu dengan
sekarang?
Apakah ada perubahan atau tetap stagnan. Dalam matematika
dasar, itu baru bisa, karena yang dibandingkan memiliki penyebut yang sama,
yaitu diri sendiri.
Dengan begitu, tidak ada yang tersakiti, dan tidak ada yang
merasa bangga. Tetapi yang ada, kemungkinan kita akan merasa lebih bersyukur
atas perubahan yang dimiliki.
***
Bukankah Allah telah menciptakan manusia itu berbeda-beda?
Warna kulit, suku, ras, agama, budaya, kondisi sosial, dan seterusnya.
Perbedaan hadir bukan untuk dibandingkan, melainkan untuk saling melengkapi.
Jika ada diantara kita, -dan pasti akan ada- yang jadi
dokter, ada petani, guru, peternak, pedagang, dan di pemerintahan, semua itu
Tuhan ciptakan bukan untuk membandingkan mana yang lebih baik. Melainkan untuk
seling melengkapi. Karena kita semua saling membutuhkan satu sama lainnya.
Lalu, apa yang akan kita dapatkan jika membanding-bandingkan?
Hanya rasa sakit hati, iri, dengki, sombong, dan akhlak tercela lainnya. Dari
perbandingan inilah sering hadir akar konflik yang tidak nampak di permukaan.
Masih ingat konflik besar dan panjang yang terjadi di Ambon,
Poso, Aceh, dan akhir-akhir ini ramai adalah Papua.
Semua konflik tersebut memiliki akar yang sudah menjalar. Bukan
masalah kecil yang tampak dipermukaan sesaat sebelum kejadian yang membuatnya
besar dan susah untuk dipadamkan.
Melainkan, ada masalah beranak pinak yang sudah lama
terpendam. Dari beberapa artikel yang saya baca, konflik di daerah tersebut
beberapa penyebabnya adalah perbandingan.
Adanya orang yang membanding-bandingkan. Sehingga terjadi
kesenjangan ekonomi, diskriminasi, tebang pilih, dan penyebab lainnya. Masalah
tersebutlah yang selalu terpendam dan selalu menunggu pemicu dan waktu yang
tempat untuk meledak.
Berhentilah untuk membanding-bandingkan satu dengan lainnya. Marilah
saling melengkapi kekurangan orang lain dengan kelebihan yang kita miliki. Dengan
begitu akan tercipta perdamaian di muka bumi ini.