Kompor Hock Bagi Anak Kos

Kompor Hock (sumber: shopee)
Tools memasak juga mengikuti perkembangan zaman. Mulai dapur, kompor hock, dan sekarang beralih ke gas LPG. Dari ketiga tools itu, kebanyakan orang menggunakan LPG, dan sesekali memasak di dapur. Kompor hock sepertinya sudah ditinggalkan.

Jujur, saya mengira kompor yang bekerja dengan cara mengisap minyak tanah melalui sumbu ini sudah punah di muka bumi. Beberapa tahun  sudah saya tidak pernah melihat, pun tidak pernah mendengar orang yang memperbincangkannya.

Seingat saya, terakhir saya menggunakan saat latihan dasar kepemimpinan (LDK) di jurusan empat tahun lalu. Waktu itu pun, sudah sangat susah ditemui.

Hanya karena kompor hock itu diwajibkan oleh panitia, sehingga teman-teman saya meminjam di keluarganya, yang sebenarnya sudah dipensiunkan sejak gas LPG muncul.

Kompor ini terbilang sangat ruwet dalam penggunaannya. Harus menunggu 2 sampai lima menit baru apinya bisa menyala dengan rata.

Itu yang membuat kami sangat struggle waktu itu. Bagaimana tidak, waktu yang diberikan panitia kepada kami hanya 10 menit memasak. Itu sudah termasuk beras, telur, dan indomie. Menyalakan kompor saja butuh waktu lima menit.

Jelas masakan kami waktu itu tidak ada yang matang. Dengan waktu yang sangat singkat itu, kami langsung saja mencampur beras, telur, indomie, kacang hijau, ke dalam wajan yang berisi air. Hanya dalam waktu lima menit, “gado-gado” itu di aduk lalu diangkat.

Ratu Fathona. Gadis asal Bima, Nusa Tenggara Barat itu ternyata masih mengoleksi kompor tempo dulu itu. Ia masih menggunakannya di indekos, di Kota Makassar.

“Itu saya bawa dari Bima. Karena dilarangka sama mamaku pakai kompor gas,” katanya.

Waow, ternyata cukup jauh ia membawanya. Lintas pulau.

Ceritanya tersebut terungkap saat ia sedang memasak di Redaksi LPM Profesi UNM. Yah, ia saat ini adalah bendahara di organisasi jurnalistiknya UNM.

Lucunya, saat ia sedang memasak, tiba-tiba gas LPG di kompor yang ia gunakan memasak tiba-tiba habis. Nyala api pun mati. Padahal ia sementara memasak.

Ratu langsung mendatangi temannya dan meminta untuk melepas tabung gas tersebut. Untung saja ada Nurfazila. Ternyata, ia tidak mengetahui cara melepas regulator dari tabung gas tersebut.

“Takutka. Meledak nanti,” katanya. Padahal gas tabung itu sudah tidak ada.

Cek per cek, ia belum pernah sama sekali menggunakan atau lebih tepatnya memasang dan melepas regulator kompor gas. Pasalnya, selama ini, di indekosnya, ia hanya menggunakan kompor hock.

Padahal, jenis kompor ini sudah lama ditinggalkan oleh orang-orang. Sejak gas LPG muncul. Mereka sudah meninggalkannya. 

Bukan hanya di kota, tetapi sampai di desa. Bahkan di kampung saya, masyarakat sudah menggunakan bio gas yang diproduksi dari kotoran sapi.

***

Bercerita tentang kompor hock, saya juga selalu teringat masa-masa menjelang hari raya idul fitri ataupun idul adha di kampung. Ibu selalu menggunakannya untuk memanggang kue kering.

Yah, waktu itu belum ada gas LPG. Ibu lebih sering memasak menggunakan dapur tanah liat yang bercampur abu sisa pabrik padi untuk memasak seperti beras, sayur, air, dan menggoreng.

Tapi sekarang, ibu juga sudah menggunakan kompor gas LPG. (*)

signature
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url