Resilience dalam Kepemimpinan

We don't need a tragedy but the most important thing is we need our purpose of living.

SEORANG teman saya hampir setiap selesai bimbingan skripsi, pulang ke indekos dengan wajah yang kusam. 

Kadang diam tanpa bicara sedikitpun langsung pergi tidur, dan kadang juga mengomeli si dosen pembimbingnya.

Sepertinya teman saya ini hanya terjadi miskomunikasi dengan pembimbingnya. Selalu saja ada masalah yang ditemukan saat bimbingan.

Hingga akhirnya teman saya kadang stres setelah bimbingan. 

Dalam situasi pandemi, masa studi yang sudah mau berakhir, tuntutan pekerjaan, hingga pertanyaan-pertanyaan orang tua terkait penyelesaiannya.

Masalah seperti ini juga pernah saya alami. Tapi saya selalu menanggapi positif setiap coretan-coretan dosen saat melakukan bimbingan. 

Begitupun dengan pertanyaan-pertanyaan orang tua yang menjadi motivasi untuk lebih rajin lagi dalam belajar dan menyelesaikan studi.

Satu hal yang selalu menjadi motivasi saya dalam menyelesaikan tugas akhir adalah sebuah kutipan yang kurang lebih seperti ini. 

"Bersyukurlah karena kita masih diberi kesempatan untuk merasakan ujian seperti ini. Ada begitu banyak orang yang ingin sekali merasakan hal itu, tetapi tidak bisa."

Peace and leadership class atau PLC malam ini membahas tentang resilience. Sebuah materi yang menjadi salah satu misi Guardian of Peace.

Salah satu yang membuat saya selalu tertarik mengikuti PLC, adalah materi yang dibahas selalu related dengan kehidupan saat ini. 

Sehingga bisa dengan mudah memahami karena ada pengalaman atau bahkan sedang dialami. Sehingga dalam merefleksikan materi bisa dengan mudah.

Nah, apa saja topik pembahasan malam ini? Tentu sangat banyak. Apalagi jika menggabungkan refleksi setiap peserta yang hadir.

Dalam tulisan ini, saya ingin sedikit berbagi materi dan cerita-cerita, yang menarik bagi saya. Semoga juga menarik bagi kalian yang membacanya.

Dari tiga definisi resilience yang dijelaskan kak Therry, salah satunya adalah kemampuan untuk pulih dari pengalaman hidup yang negatif dan menjadi lebih kuat saat mengatasinya. 

Sehingga dengan kata lain, resilience akan terbentuk dengan hadirnya berbagai pengalaman berat dalam hidup ini.

Mungkin hal ini juga yang mendasari dalam setiap interview, baik saat melamar pekerjaan, mendaftar di sebuah organisasi tertentu, pendaftaran beasiswa, dan sebagainya, selalu muncul pertanyaan pengalaman terberat yang pernah dialami serta cara kita melewatinya.

Dalam proses pembentukan resilience dalam diri, tentu tidak mudah. Sebagaimana definisi yang saya sebutkan di atas, bahwa ini berangkat dari pengalaman pahit. 

Jika kita bisa melewati pengalaman pahit tersebut, kita akan menjadi lebih kuat dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup berikutnya.

Tentu semua orang memiliki pengalaman pahit. Tapi tidak semua bisa melalui atau melampauinya.

Salah satu yang menjadi dampak dari adversity adalah stres. Seperti yang saya sebutkan di awal tulisan ini.

Stres akan muncul jika perasaan kita tertekan, terbebani, dan frustasi sebagai akibat dari adanya stressor yang berasal dari luar individu, yang dirasakan tidak seimbang dengan batas kemampuan, kompetensi, nilai atau konsep diri yang dimilikinya. Itu menurut pendapat Lazarus dan Folkman.

Akibat dari faktor eksternal tersebut, berdampak pada internal diri pribadi. Kadang terjadi gejala somatis hingga perubahan gaya hidup. 

Bahkan ada orang yang sampai nekat bunuh diri jika tidak mampu mengendalikan perasaan stress yang dialaminya.

Nah, dalam materi resilience ini, kami mempelajari dan mencoba merefleksikan pengalaman pahit yang pernah dialami dan cara untuk melalui, bahkan melampauinya.

Satu-satunya cara yang bisa dilakukan ketika mendapat masalah adalah dengan menghadapinya. Deal with it. Mempelajari dan memahami akar dari setiap permasalahan.

Dengan memahami bahwa setiap adversity atau peristiwa yang menimpa, itu terjadi di luar kendali kita. 

Saya tidak bisa mengendalikan pengalaman pahit yang akan menimpa saya. Yang menjadi fokus saya hanyalah bagaimana merespon adversity yang ada.

Ada sebuah rumus yang sangat menarik dari materi hakuna matata saat awal PLC, yaitu E+R=O.

E: Defining the event (peristiwa yang terjadi)

R: Understanding the Responses (Tindakan terhadap peristiwa tersebut)

O: The Outcomes (Dampak dari peristiwa)

Sederhananya begini, semua peristiwa yang menimpa kita itu sebenarnya di luar kendali kita. Semua yang terjadi ada dalam kendali yang maha kuasa. Yang bisa saya kendalikan adalah respon saya terhadap peristiwa yang sudah ditetapkan Allah. 

Dengan menyadari itu, saya akan selalu berusaha merespon dengan antusias setiap peristiwa yang ditetapkan-Nya. Baik itu yang menyedihkan atau menyenangkan.

Dalam resilience yang dibahas malam ini, ada 4 langkah yang bisa dilakukan dalam menghadapi adversity.

Pertama adalah survive. Terlebih dulu kita harus bertahan dalam menghadapi peristiwa pahit. Kemudian mulai beradaptasi dengan masalah tersebut.

Ketiga adalah recovering dengan masalah. Dan terakhir adalah Thrive. Atau bagaimana cara kita kembali berkembang bahkan melampaui masalah yang telah terjadi.

Dengan begitu, resilience akan terbentuk dalam diri dan semakin kuat. Sebuah contoh misalnya covid-19.

Wabah ini adalah penyakit yang terjadi dan menyebar ke seluruh dunia. Semua ini terjadi di luar kendali kita.

Dalam penerapan konsep resilience, sebaiknya kita bertahan dulu menghadapinya. Kemudian mulai beradaptasi, recovering dan thrive.

Saya yakin, orang yang bisa melalui, merasakan, dan melampaui masalah ini, akan memiliki resilience yang lebih baik lagi.

So, jangan terlalu banyak mengeluhkan masalah yang ada. Segera lakukan yang terbaik saat ini dan sekarang juga. Karena ruang kendali kita hanya ada saat ini dan sekarang.

***

DEMIKIAN cerita tentang resilience dalam kepemimpinan. Terimakasih sudah membaca sampai selesai. Silahkan tinggalkan pesan di kolom komentar jika Anda punya saran, kritik, atau pertanyaan seputar topik pembahasan.

Salam,

signature
Next Post Previous Post
8 Comments
  • fanny_dcatqueen
    fanny_dcatqueen 18 Maret 2021 pukul 12.06

    Tulisannya baguuus banget :). Dan amat sangat useful.

    Aku jd inget kata2 yg bilang, something that doesn't kill you, Will make you stronger :)

    A smooth sea never Made a skilled sailor.

    2-2 nya punya arti sama, cobaan itu bikin kita LBH kuat depannya. Tergantung dr cara kita menyikapi, dan solve the problem.

    Aku pernah ngalamin cobaan lumayan berat dulu. Ga sekali, tapi beberapa kali. Sempet kepikir, masa depan ku bakal hancur, udh ga layak hidup, Tuhan pasti benci ke aku dan pikiran jelek lain. Tapi saat di titik terendah,nasehat dari seorang ustad juga, kalo cobaan yg DTG bukan Krn Tuhan benci, tp Dia ingin melihat kesungguhan sekalian menempah manusianya utk jd LBH kuat. Mindset itu dulu yg hrs ada.

    Dan setelah itu tertanam, baru aku bisa melihat jalan kluar dr masalah :). Semakin kita sering melewati banyak aral, semakin kita ahli dlm menyelesaikan masalah.

    Kalo kata atasanku yg dulu, masalah datang jangan dibenci. Tapi coba utk dimengerti :).

    • Wahyudin
      Wahyudin 19 Maret 2021 pukul 23.37

      hehe betul banget kak Fanny...harus selalu kuat hadapi masalah. Hehe ternyata kita juga bisa menjadi ahli dalam penyelesaian masalah.

  • Wiwied Widya
    Wiwied Widya 18 Maret 2021 pukul 22.23

    Kayaknya kemampuan seseorang untuk ngehandle stres emang perlu dilatih sih. So far, untungnya aku punya support system yang bagus. Jadi tiap kali berasa down, ada aja org terdekat yg tiba2 bikin semangat, walau sebenarnya mereka nggak berniat gt.

    • Wahyudin
      Wahyudin 19 Maret 2021 pukul 23.40

      Iya kak, faktor lingkungan juga mendukung terbentuknya resilience kita. Nggak kebayang kalau mendapat banyak masalah baru lingkungan malah tidak mendukung.

  • Ariefpokto
    Ariefpokto 19 Maret 2021 pukul 00.02

    Resilience Penting banget . Perkara skripsi nya hampir sama kayak Saya. Ironis kala mahasiswa komunikasi mengalami miskomunikasi. Tapi hal Gini emang terjadi. Kalau dibiarkan Makin parah. Mesti diselesaikan dengan hati2, dan harus punya resilience yg kuat

    • Wahyudin
      Wahyudin 19 Maret 2021 pukul 23.42

      Harus nurut apa kata dosen pembimbing. Asal permintaannya tidak melebihi batas, sebaiknya ikuti saja.

  • Nyi Penengah
    Nyi Penengah 19 Maret 2021 pukul 08.05

    Semangat ya Allah semoga segalanya dilancarkan ya mba. aku pun ini skripsi mandek sedih deh eheheheh tapi tetep kudu natap masa depan dong ya. Dan perkuat sistem diri pun support dari sekitar

  • Marfa Umi
    Marfa Umi 1 April 2021 pukul 08.41

    Sebagai orang yang cenderung denial, aku juga setuju dan senang pada akhirnya bertemu dengan kata resiliensi dan mempelajarinya. Masalah ada, lambat laun mau lari bakal tetep ketemu. Lebih baik segera diselesaikan secara tenang dan bertahap. Selain itu, resiliensi membuatku tak langsung reaktif pada kejadian negatif, memandang hal tersebut sebagai hal yang netral terlebih dahulu. Praktiknya susah, namun lama2 jika tekun akan ada hasilnya :D

Add Comment
comment url