Vaksin Pertama

Vaksin di Puskesmas Tompobulu
Suasana tempat vaksin di Puskesmas Tompobulu


Rapid test yang menusuk lubang hidung, jauh lebih menyakitkan dan menjengkelkan dibanding vaksin dengan jarum suntik yang ditusuk ke lengan atas. Jika tidak percaya, silakan coba.


Meski sempat was-was, gugup, perasaan yang berkecamuk campur aduk di kepala. Hari ini saya siap untuk divaksin.


Banyaknya berita yang tersebar di media massa dan sosial jadi pemicu. Informasi tentang vaksin dan dampaknya sangat banyak bertebaran. Sampai sulit membedakan mana benar dan salah. 


Hampir semua berbasis data dan yang menyampaikan juga dokter. Saya juga tidak tahu pasti apakah datanya betul dan dokternya juga iya. Yang jelas terjadi perang di media sosial antara yang pro dan kontra dengan vaksin.


Berdasarkan artikel yang saya baca, vaksin yang disuntikkan ke dalam tubuh saya adalah Sinovac. Vaksin ini buatan perusahaan bioteknologi asal China.


Katanya, vaksin ini bertujuan untuk memicu sistem kekebalan tubuh terhadap virus tanpa menimbulkan respons penyakit yang serius seperti yang diberitakan Kompas.com.


Sementara itu, efikasi atau kemanjuran vaksin Sinovac yang disebut CoronaVac, berdasarkan uji klinis fase 3 di Indonesia menunjukkan efikasi vaksin Covid-19 ini sebesar 65,3 persen.


Salah satu alasan saya melakukan vaksin, karena beberapa kebijakan pemerintah yang mengharuskan vaksinasi. Setelah membaca sejumlah artikel tentang vaksin, ditambah sudah banyak orang yang melakukan vaksinasi, termasuk dua orang kakak saya. Akhirnya saya putuskan juga untuk melakukan vaksin.


Ternyata, keinginan masyarakat untuk melakukan vaksin juga semakin tinggi belakangan ini. Mulai yang anak muda sampai orang tua.


Sebagian kena dampak hoaks yang beredar di media sosial. Katanya, tidak bisa memperpanjang SIM dan membuat SKCK jika belum divaksin.


Memang kabar tersebut banyak beredar di group WhatsApp. Berdasarkan check fakta Tempo, itu adalah hoaks. Dan saya sudah sampaikan ke beberapa keluarga bahwa kabar tersebut hoaks. Jangan dipercaya!


Tapi mereka bilang, mungkin sekarang masih hoaks. Tapi siapa jamin kalau bulan depan atau nanti itu betul-betul diberlakukan?


Saya bukan bermaksud melarang masyarakat dan keluarga vaksin, tapi lebih meluruskan informasi hoaks yang beredar.


Isu lain yang sampai ke masyarakat adalah, mereka tidak akan mendapatkan bantuan sosial jika belum divaksin. Sehingga banyak orang tua yang terpaksa melawan rasa takutnya pergi melakukan vaksin.


Sehingga apa yang terjadi, beberapa hari ini, puskesmas tempat vaksinasi dipadati oleh masyarakat. Bertumpuk. Bahkan, kemarin, waktu hari Jumat, banyak masyarakat yang pulang karena tidak dapat nomor antrian.


Hari Sabtu pagi, kebetulan kakak saya bekerja sebagai perawat di puskesmas tempat vaksin. Pagi-pagi saya bawa KTP agar bisa mendapatkan vaksin. Dan orang sudah ramai di puskesmas.


Kata kakak saya, mungkin sore baru bagianmu. Karena sudah banyak orang yang antri.


Setelah menyimpan KTP dan mendaftar terlebih dulu. Saya kembali ke rumah. Kebetulan lagi ada training fasilitator yang saya ikuti secara daring.


Sayangnya, training yang saya ikuti belum selesai, tiba-tiba kakak saya menelepon. Katanya nomor antrian saya sudah dekat dan tidak lama lagi dipanggil. Sekitar tengah hari. Pukul 12 lewat 5 menit kalau tidak salah.


Hanya dengan 5 menit jarak tempuh perjalanan, akhirnya saya sampai. Yah, memang rumah saya cukup dekat dari puskesmas. Hanya berbeda desa, dan masih satu kecamatan.


Sempat antri lagi baru di panggil. Akhirnya...


Saya mengambil kembali KTP di loket antrian. Lalu masuk naik ke lantai 2 dan masuk ke ruang vaksin. 


Dua orang perawat menyambut dengan hangat. Terlihat dari tarikan sudut-sudut matanya menandakan bahwa mereka tersenyum. Semua menggunakan masker.


Seorang pria kemudian mengantar masuk dan mengarahkan duduk dengan jarak tertentu dengan orang lain. "Tungguki dulu di sini. Sebentar dipanggil namata," katanya.


Wahyudin...


Seorang ibu yang duduk di kursi dan di depannya meja, memanggil. Di atas meja lengkap alat kesehatan. Saya di tensi. Suhu badan saya juga dicek.


Kemudian ibu tersebut menulis hasilnya di kertas. Tak hanya itu, ia juga menulis NIK dan nomor telepon saya.


Kertas tersebut selanjutnya saya bawa ke meja sebelah. Di meja kedua, saya serahkan kertas tadi ke bapak yang bertugas.


Ia menanyakan riwayat penyakit, kondisi saat ini, dan aktivitas. Lalu menceklis beberapa poin di kertas.


Setelah itu barulah ke pos selanjutnya. Di sana ada dua perawat yang sudah menunggu dengan beberapa botol vaksin dan suntik.


"Dudukki di sini. Janganki tegang nah," katanya.


"Hehe iye tidakji," jawabku dengan sedikit perasaan was-was melihat suntiknya.


Apalagi beberapa cerita yang saya dengar dari orang divaksin, katanya sakit saat disuntik. Entah itu benar atau hanya sekadar menakut-nakuti.


Saya pasrah. Yah meskipun rasa dan pikiran masih berkecamuk. Terakhir lengan saya disuntik waktu SD mungkin. Sudah lama sekali. Saya sampai lupa dan tidak ingat bagaimana rasanya disuntik.


Wajar saya merasa sedikit takut.


"Angkat lengan bajuta naik," kata perawat itu sambil memegang suntik di tangan kanannya yang siap menusuknya ke lenganku.


Di tangan kirinya kapas yang telah dibasahi alkohol. Saya sempat perhatikan sebelum menoleh keluar. Tidak berani melihat suntik itu menusuk.


Saya hanya merasa jempol dan telunjuknya mengusap-usap lengan saya 2 atau 3 kali. Lalu mengatakan, "sudah selesai,".


Saya masih kurang percaya. Saya lihat suntik di tangan kanannya sudah kosong. Baru saya percaya.


Ternyata jarum suntik itu tidak terasa masuk. Saya hanya merasa telunjuk dan jempolnya yang menekan kulit lengan saya. Juga rasa dingin dari kapas yang dibasahi alkohol.


Saya langsung ingat saat rapid test beberapa hari yang lalu. Sesuatu dimasukkan ke lubang hidung saya, dalam, lalu diputar-putar. 


Rasanya nyeri-nyeri, selalu ingin bersin, dan perasaan lain yang tidak bisa saya deskripsikan. Hal itu jauh lebih sakit daripada disuntik vaksin yang seperti tidak terasa jarum suntik menusuk.


Saya kemudian diarahkan ke meja selanjutnya. Berkas tadi saya setor lagi. Kemudian mengukur berat badan, lebar keliling badan, dan tinggi badan.


Saya juga sempat ditanya, apakah merokok? Suka minuman beralkohol? Semua saya jawab tidak.


Pertanyaan selanjutnya, apakah suka makan buah dan sering makan sayur? Semua saya jawab iya.


Setelah itu, saya diberikan kertas baru lagi. Isinya bukti telah vaksin hari ini dan jadwal vaksin berikutnya.


"Silakan datang lagi tanggal 31," kata perawat tersebut. 


Saya kemudian pulang ke rumah. Bapak telah siapkan kelapa muda.


"Ada kelapa muda di belakang. Pergi buka baru minum airnya," katanya saat saya tiba di rumah.


Sepertinya orang tuaku lebih khawatir. Bapak sebenarnya juga mau vaksin. Tapi masih berpikir karena memiliki riwayat penyakit darah tinggi. Akhirnya ia tunda.


Sehingga dalam keluarga, baru kakak pertama dan kedua sudah vaksin. Berhubung saya anak terakhir, jadinya kami semua bersaudara sudah vaksin.


Setelah vaksin, saya tidak merasakan efek apapun. Rasanya biasa saja. (*)

signature
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url