Amplop Kosong; Modal Seribu, Makan di Hotel Sampai Kenyang

PEMBATASAN Sosial Berskala Besar atau PSBB sudah selesai. Sekarang waktunya masuk masa new normal. 

Masa di mana pola kehidupan masyarakat kembali normal, tetapi dilakukan dengan cara berbeda atau sesuai dengan kemauan covid-19 –jaga jarak, selalu cuci tangan, pakai masker, dan sebagainya.

Di era new normal ini, beberapa pasang manusia sepertinya tidak bisa lagi menahan hidup sambil LDR atau long distance relationship. Banyak yang terpaksa melangsungkan pernikahan di bulan syawal ini, meskipun dengan cara yang sederhana dengan gaya new normal.

Kemarin, salah satu keluarga - yang baru saya mengetahui bahwa saya memiliki hubungan keluarga dengannya – melangsungkan pernikahannya. Dia merupakan sepupu dua kali ibu saya. Dan nenek saya sepupu satu kali dengan bapaknya. Dan saya pasti akan bersepupu ketiga kali dengan anaknya nanti.

Awalnya saya kelesa menemani ibu ke acara tersebut. Selain karena belum mengenal keluarga tersebut, saya memang tipe orang yang introvert, malas berkumpul dengan orang banyak apalagi saya tidak mengenalnya sama sekali.

Tapi, ibu tidak ada yang memboncengnya. Terpaksa saya berangkat mengantar ibu, sekalian berkenalan dengan keluarga dari nenek.

Amplop. Adalah hal penting yang harus disiapkan jika ingin menghadiri sebuah acara pernikahan. Kebiasaan ini sudah menjadi budaya masyarakat Bugis Makassar, dan juga mungkin di Indonesia. Entah berapapun isinya.

Kebetulan, saat hendak berangkat, di rumah sedang tidak ada amplop. Kata ibu, kita bawa uang saja. Nanti di jalan singgah beli amplop.

Di pertigaan batas Dusun Balocci, Tanetepanasa, dan Taipalabba, kakek dan nenek saya sudah menunggu. Mereka juga ingin ke pesta pernikahan keluarga dari nenek saya. Yah, hanya nenek saya yang kenal baik dengan orang tua yang ingin menikah. Ibu saya tidak begitu kenal, apalagi saya yang hanya anak di belakang.

Di sebuah kios di pinggir jalan, ibu singgah membeli amplop. Mengisinya selembar uang biru, dan menulis nama di amplop tersebut. Nenek saya juga singgah mengecek amplopnya.

Apes...Isinya kosong. Padahal di amplop tersebut sudah tertulis nama nenek saya. Lengkap dengan alamatnya.

“Ukua’ang memang anjo sumpie ngkua le’ba nabonei, natena pale,” kata nenek saya menggunakan bahasa Makassar Bentong yang artinya kurang lebih seperti ini. Saya kira tadi ini amplop sudah diisi sama anaknya, tapi ternyata tidak.

Untung saja ibu saya memiliki uang lebih, sehingga nenek meminjamnya untuk mengisi amplop tersebut. Setelah terisi, kami kemudian lanjut berangkat. Jaraknya tidak jauh. Masih satu kecamatan dengan kampung kami, hanya beda desa.

Setelah sampai, kami langsung makan, nasi, daging, sayur, rujak, dan kerupuk. Tak lupa, sehabis makan, lanjut minum es buah, sebagai pencuci mulut.

Amplop kosong nenek saya tadi sontak membuat saya ingat sesuatu. Beberapa tahun yang lalu, sewaktu masih sekolah di Palu, sangat sering saya menghadiri pesta pernikahan di Hotel dengan modal amplop kosong.

Di Kota Palu, saya sempat tinggal di rumah orang Toraja. Kemudian ngekos. Hampir semua teman saya di kompleks adalah orang Toraja.

Jika ada keluarga mereka, entah itu keluarga jauh atau dekat, saya selalu dipanggil ke acaranya yang berlangsung di hotel ternama di Palu.

Karena saya adalah anak kos, jadi taulah bagaimana kehidupan anak kos. Hanya modal seribu rupiah untuk beli amplop, saya dan teman tersebut ke Hotel menghadiri acara nikahan keluarganya.

Setidaknya, uang untuk makan malam tertutupi. Sehingga uang makan malam bisa digunakan makan esok harinya.

Saat tiba di hotel, saya ikut memasukkan amplop kosong. Isinya tidak ada, pun dengan nama. Semuanya kosong dan bersih. Setelah itu lanjut makan dengan lahap.

Merasa bersalah? Sepertinya dulu tidak. Karena sudah menjadi kebiasaan teman nongkrong saya seperti itu. Menghadiri pesta besar di hotel dengan bermodalkan amplop kosong. Begitupun dengan nama di buku tamu, bukan nama asli. hehe.

signature
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url