Mengukur Batas Kemampuan

SUATU ketika, saya pernah mendengar percakapan antara seorang guru dan muridnya. Anggaplah, nama guru tersebut Chiang. Entah mengapa saya selalu senang jika menyebut nama Guru Chiang.

Tapi sudahlah, apalah arti sebuah nama jika tidak membuat kita bahagia mengingatnya. Jadi ceritanya begini.

Ketika itu, Guru Chiang ingin melihat batas kemampuan muridnya sejauh mana. Ia pun menyuruhnya berlari mengelilingi lapangan.

Kemampuan yang dimaksud di sini adalah stamina dalam berlari. Mungkin Guru Chiang ini adalah guru olahraga yang sedang mengajar muridnya yang ingin ikut olimpiade. Tapi sepertinya bukan. Mari kita lanjut ceritanya.

Murid Guru Chiang pun mulai berlari. Ia memulainya dengan semangat berlari kencang. Begitu cepat ia berlari di putaran pertama, kedua, dan ketiga. Di putaran keempat, ia mulai ngos-ngosan.

Di putaran kelima ia menyerah dan mengatakan kepada Guru Chiang, “Hanya sampai di sini batas kemampuanku guru,” katanya lalu duduk sambil meluruskan kedua kakinya ke depan.

Guru Chiang menyuruhnya bangkit dan melanjutkan. Ia mengatakan bahwa kamu masih bisa. Kemampuanmu bukan hanya sampai di putaran kelima.

“Ayo, coba lagi,” kata Guru Chiang yang menghampirinya.

Tapi muridnya merasa sudah tidak mampu, dan malah berbaring. Sambil meluruskan kaki, kedua tangan, badan, sambil wajahnya menengadah ke langit.

Akhirnya, Guru Chiang memperlihatkan batas kemampuannya ke muridnya. Ia pun mulai berlari mengelilingi lapangan sambil di perhatikan oleh muridnya yang sudah bangun duduk. Kedua kakinya tetap ia luruskan ke depan.

Putaran pertama dan kedua masih stabil, putaran ketiga mulai ngos-ngosan. Pada putaran keempat larinya sudah mulai melambat.

Guru Chiang terlihat mulai loyo. Namun ia terus berlari, berlari, dan berlari memaksakan diri hingga putaran ke tujuh.

Tak lama kemudian, di putaran ketujuh, Guru Chiang terjatuh. Penglihatannya mulai rabun dan lama kelamaan menjadi gelap.

Muridnya kaget, dan segara berdiri mengahampirinya. Ia kemudian mengangkatnya ke dalam ruangan.

Setelah Guru Chiang sadar, ia bangun duduk, minum air putih, lalu mengatakan kepada muridnya, “Ternyata batas kemampuanku hanya sampai putaran ketujuh,” katanya menghela nafas.

Yah, batas kemampuan sebenarnya adalah ketika kita sudah tidak mampu. Banyak hal yang sebenarnya kita masih mampu mengerjakan, tetapi karena alam bawah sadar mempengaruhi bahwa kita sudah tidak mampu, sehingga kita berhenti.

***

Pagi-pagi sekali Ongkir datang ke rumah Paman saya. Ongkir bukan ongkos kirim yah, tapi sapaan akrab Om Kirman.

Yah, saya dan paman masih tidur saat Ongkir datang. Suara khas Satria FU membuat saya tetiba bangun.

Yah kemarin, paman saya ingin mengangkat semua padi yang ia teah panen ke rumahnya. Jaraknya tidak dekat. Butuh strugling melalui jalanan berbatu –batunya sebagian ada yang runcung-, sungai, bata, hutan-hutan, jembatan terbuat dari batang bambu, sawah, samping kuburan, pendakian, penurunan, dan itu dilalui tanpa alas kaki.

Berjalan tanpa beban saja, membuat nafas menjadi ngos-ngosan, apalagi jika membawa beban 40 kg sampai 80 Kg. Dalam pikirku, “Sepertinya saya tidak bisa mengangkat padi 1 karung sejauh ini. Apalagi, pekerjaan seperti itu, sangat jarang, bahkan tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Selama ini, sebagian besar waktuku habis di dunia pendidikan,” gumamku dalam kepala.

“Kalau menulis perjalanan, atau mengkaji teori apa yang tepat digunakan, mungkin,”

“Tapi itu hanya dalam pikiran. Teman seumuran saya juga ikut, bahkan ada yang umurnya di bawah umurku,” hehe akhirnya saya juga ikut.

Ngitung-ngitung juga buat mengetahui sampai mana batas kemampuanku. Tapi ada yang lebih penting. Dengan ikut membantu, setidaknya saya bermanfaat buat orang lain, daripada hanya diam diri di rumah bermedia sosial.

Awalnya hanya enam orang. Kemudian satu orang nyusul. Pada ronde kedua, bertambah lagi dua orang, jadi ganjil sembilan orang.

Naning, salah satunya yang saya akui. Padi satu karung penuh, disasak, di jahit pula. Ia membawanya tanpa istrahat sampai di rumah. Mungkin ada sekitar 1 jam padi tersebut dipikulnya tanpa istrahat melalui jalan yang saya sebutkan tadi di atas.

Lalu saya, hanya setengah karung lebih. Ikat pocong pun tidak sampai. Hehe perkiraanku hanya 40 kg. Tidak seperti yang dibawa Naning mungkin 65 Kg.

Itu pun, berkali-kali saya istrahat. Haha. Dasar lemah.

Awalnya, saya dengan berlagak kuat memikulnya dan ikut di belakang Naning. Sudah melalui roppo-roppo, jabe-jabe, sungai, pendakian. Naning masih kuat dan terlihat semakin jauh dariku.

Dalam hati, saya berkata “Kapan orang ini istrahat, gua udah ngos-ngosan nih,”

Aku kemudian balik kebelakang. Aha, om Sebba dan Bapak Ayu yang berada di belakangku, menurunkan padi yang ia pikul. Sepertinya mereka capek jadi istrahat.

Tak pikir panjang, tanpa melihat lagi Naning yang semakin jauh di depan, saya juga langsung menurunkan padi yang serasa semakin berat di selangkangan. Uh lega...Sambil menggeleng-geleng kepala membunyikan tulang leher yang kaku.

Keringatku sudah bercucuran. Baju sudah ma’jempo.

Sementara perjalanan masih jauh. Ah, kalau Naning saya ikuti, saya tidak bakalan bisa. Kecuali saya latihan dulu selama seminggu atau sebulan.

Selain badannya yang besar dan tinggi, memikul seperti ini sudah sangat sering sekali ia kerjakan. Sementara saya, memiliki badan kurus, kecil, tidak berotot lagi.

Setelah rasa capek berkurang, nafas juga mulai teratur. Saya kembali melanjutkan mengangkat padi.

Saat capek lagi, saya istrahat lagi dan mengatur nafas. Setelah nafas sudah teratur, kembali saya lanjutkan. Begitu seterusnya sampai saya sampai.

Hahaha entah berapa kali saya istrahat di jalan. Tapi kesyukuran karena ternyata saya juga bisa.

Mungkin jika saya menjadi petani, dan mengerjakan pekerjaan seperti ini setiap waktu, mungkin saya juga bisa seperti mereka.

Ternyata batas kemampuanku jauh di bawah para petani yang bahkan lebih muda dari saya. Setinggi apapun pendidikan yang kita tempuh, pasti memiliki kekurangan, kelemahan, dibanding dengan para petani yang bahkan tidak pernah memegang yang namanya pensil dan pulpen.

Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Perbanyaklah bersyukur.

signature
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url