Tidak Ada Anak Bodoh, Semua Pintar

Siswa Sekolah Anak Bangsa

SEJATINYA, tidak ada anak yang pintar dan tidak ada juga anak yang bodoh. Hanya, memang ada beberapa anak yang menonjol pada beberapa bidang kecerdasan saja. Tidak semuanya.

Rumah belajar anak-anak di Kampung Amanah sepi. Hanya ada Dg Caya, pemilik rumah yang bersedia teras rumahnya dijadikan tempat belajar anak-anak di daerah tersebut.

"Mauki’ mengajar hari ini?" Kata Dg Caya yang sedang duduk di bale-bale di kolong rumahnya, Jumat 30 Oktober 2020.


"Iya bu," jawabku sambil melepas helm lalu ikut duduk di bale-bale.


Teras rumah masih kosong. Anak-anak belum datang.


"Ow iye, pergika pale dulu cariki di rumana," katanya dengan dialek Makassar.


Yah, hari ini memang hari libur nasional. Sejak hari Rabu hinggu Minggu.


Bangsa Indonesia memperingati hari Sumpah Pemuda 28 Oktober dan Maulid Nabi Muhammad Saw, 12 Rabiul Awal.


Tapi berbeda dengan mereka, anak-anak yang belajar di pendidikan anak bangsa. Tidak ada jadwal libur kecuali hari Minggu.


Pendidikan mereka non formal. Belajar dengan pakaian, sarana dan prasarana seadanya. Begitupun yang mengajar (saya dan teman-teman) bersedia mengajar dengan sukarela.


Hanya dengan motivasi peduli terhadap pendidikan dan semangat untuk berbagi.


Beberapa waktu kemudian, anak-anak sudah mulai berdatangan. Nadir, Andini, Ayu, dan kawan-kawannya.


"Assalamualaikum kak Wahyu," kata mereka.


"Waalaikumsalam," jawabku.


"Ayo kita naik belajar. Jangan lupa cuci tangan dulu," kuajak mereka patuhi protokol kesehatan sebelum mulai belajar.


Satu persatu cuci tangan pada tempat yang disediakan dekat tangga.

Tanpa diperintah, beberapa anak langsung menyapu dan mengatur meja belajarnya dengan jarak tertentu agar sesuai dengan protokol kesehatan.

Anak yang lain juga masing-masing mengambil face shield.

"Tugasku membersihkan hari ini kak," kata April yang sedang menyapu.


Semua telah bersih. Meja sudah rapi. Papan tulis white board dan spidol pun sudah sedia.


"Okay, baiklah, sebelum memulai pembelajaran, kita berdoa dulu. Siapa yang mau pimpin doa?" tanyaku pada anak-anak.


Salah satu anak mengacungkan tangan dan menyampaikan pendapat.


“Kak begini caranya,” katanya sambil mengangkat kedua tangannya dan diikuti teman-temannya dan bernyanyi sambil menggerakkan tangan dan jari-jarinya.


1 jari kanan 1 jari kiri

Kujumlah ada 2 kubuat jembatan panjang 2 jari kanan 2 jari kiri Kujumlah ada 4 kubuat kamera 3 jari kanan 3 jari kiri Kujumlah ada 6 kubuat kelinci 4 jari kanan 4 jari kiri Kujumlah ada 8 kubuat menara 5 jari kanan 5 jari kiri Kujumlah ada 10, jadi marilah kita berdoa


Mereka langsung menengadahkan kedua telapak tangan menghadap ke atas dan membaca doa belajar beserta artinya.


Rodhitu billahi-robba, wabil islaamidina, wabi-muhammadin nabiyyaw warosula. Robbi zidnii 'ilmaa warzuqnii fahmaa


Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu dan berikanlah aku pengertian yang baik. Aamiin.


***


“Bagaimana kabarnya semua?” kusapa anak-anak setelah selesai berdoa.


“Alhamdulillah baik kak,” jawabnya serentak.


“Selamat pagiiii.!!!!.” kuseru mereka untuk membakar semangatnya sebelum belajar. 


“Pagi,,pagi,,pagi,, jeng jeng jeng,” masih kurang semangat. Mereka belum kompak.


“Masih kurang semangat. Selamat pagi!!!!!” kuseru lagi dengan nada yang lebih tinggi.


“Paagii, paagii, paagii,,,,jeng jeng jeng…..” sorak sorai mereka serentak dengan lebih bersemangat lagi.


Yah, mereka adalah anak-anak yang tergolong kurang mampu. Beberapa yang masih bisa bersekolah seadanya.


sebagian ada yang putus sekolah, dan ada juga yang memang tidak pernah mengenyam haknya sebagai warga negara, tidak sekolah sama sekali.


Rupanya berbeda-beda. Ada yang hanya ingin belajar matematika, ada yang ingin menulis cerita dongeng, ada yang ingin belajar menulis surah-surah pendek beserta artinya, dan ada juga yang ingin menggambar. Sangat beragam.


Usia mereka bertingkat-tingkat. Mulai dari 7 tahun hingga 13 tahun. Tentu tingkat pemahaman mereka juga berbeda-beda.


Ada yang sudah lancar membaca, menulis, dan berhitung, ada yang masih terbata-bata, dan ada juga yang belum bisa sama sekali.


Yah, di tengah serba kekurangan, ada masa depan yang tampak dari mereka. Semangat dalam belajar.


Tidak perlu sarana dan prasarana yang lengkap dan mewah. Mereka juga tidak butuh aturan dan kurikulum belajar yang memaksakan semua harus memiliki pengetahuan dan kecerdasan yang sama.


Saya melihat (belum tentu benar) yang mereka butuhkan motivasi dan wadah untuk belajar. Belajar mengolah pikir dan kemampuan mereka.


Siswa Sekolah Anak Bangsa


Minggu lalu, saya juga sempat mengajar mereka. Memberinya materi yang sama. Matematika. Yah, pelajaran yang bagi saya sangat menyenangkan.


Saya beri mereka materi terkait penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Kemudian memberi tugas berupa langsung angka, dan juga soal cerita.


Sebagian dari mereka yang sudah sekolah, bisa memahami dan mengerjakan dengan baik. Tetapi ada juga yang belum bisa sama sekali.


Setelah saya dan teman-teman mengevaluasi, beberapa diantara mereka terlihat semangatnya menurun. Utamanya yang lebih tua.


“Mungkin mereka tidak semangat kalau yang kelas 6 disamakan tugasnya dengan yang kelas 1,”


Yah, kali ini, saat memulai, saya terlebih dulu menanyakan kesenangan mereka. Melihat, setiap individu, mereka senangnya belajar tentang apa.


Setelah melihat antusias mereka, mulailah saya bagi-bagi kelompok dengan mereka sesuai dengan kesenangannya.


Dan terlihat, semua lebih antusias belajar dibanding minggu lalu, saat hanya mengajarkan matematika saja.


***


Waktu sekolah dulu, saya sangat senang belajar matematika. Entah mengapa pelajaran hitungan ini begitu menantang. Menurut saya, matematika adalah ilmu pasti.


Banyak yang mengatakan bahwa, anak yang paham matematika adalah anak yang cerdas. Dan anak yang tidak bisa memahami matematika adalah anak yang bodoh.


Menurut saya tidak. Matematika, hanyalah salah satu bidang ilmu pengetahuan.


Setiap anak, pasti memiliki kecerdasan di bidang tertentu. Ada yang cerdas matematika, ada yang cerdas berbahasa, ada yang cerdas kesenian dan lain sebagainya.


Anak yang sulit memahami matematika, belum tentu dia bodoh. Begitupun sebaliknya. Anak yang paham matematika, bisa saja dia sulit memahami kesenian.


Oleh karena itu, stop mengatakan anak itu bodoh!(*)

signature
Next Post Previous Post
2 Comments
  • Daeng Ipul
    Daeng Ipul 11 November 2020 pukul 19.10

    Semangat anak muda!
    Negeri ini butuh anak-anak muda seperti kalian yang rela berbagi kepada mereka yang belum beruntung.
    Semua kebaikan pasti akan ada balasannya, cepat atau lambat

    • Wahyudin Tamrin
      Wahyudin Tamrin 14 November 2020 pukul 21.51

      Aamiin. Terimakasih daeng.

      Semoga melalui gerakan berbagi seperti ini bisa membuat semua anak Indonesia cerdas dan mengurangi kemiskinan di negara kita. Hehe.

Add Comment
comment url