Damai di Hati, Pikiran dan Realita


KADANG merasa gelisah, ketakutan yang berlebihan atau bahkan merasa tidak semangat karena hati, pikiran dan realita tidak sejalan. Meskipun dari luar tampak seperti biasa saja. hha.

Dalam rangka menyambut hari perdamaian internasional yang ke-39 pada 21 September nanti, saya ingin berbagi cerita damai. Semoga bermanfaat.

Bukan soal perdamaian dunia, nasional, maupun lokal yang ingin saya refleksikan. Skala itu jauh dan luas. Meskipun banyak konflik yang saya dapatkan dalam dunia kampus. Tapi saya belum merasakan damai melaluinya. hha.

Memasuki semester 10, alhamdulilah semua mata kuliah sudah selesai kecuali skripsi. Begitu juga kewajiban di organisasi telah usai. Waktunya fokus menyusun tugas akhir.

Ahh, sayang sekali pandemi tiba-tiba merebak ke Makassar. Aktivitas di kampus dirumahkan. Saya langsung pulang kampung. 

Padahal baru saja bayar uang kuliah. Serasa sia-sia UKT selama satu semester itu. Lancut. Bimbingan proposal tidak jalan.

Awal pandemi jadi momok yang sangat menakutkan waktu itu. Mengalahkan pertanyaan keluarga tentang kapan wisuda saat pulang kampung. Haha.

Di kampung, semua tugas akhir sejenak saya kesampingkan. Mengerjakan hal baru dan menerapkan pola hidup sehat. Makan 3 kali sehari, tidur awal malam dan bangun sepagi mungkin untuk memberi makan ayam.

Lalu berangkat ke sawah untuk menuai padi. Kemudian lahan itu kembali ditanami kacang tanah. Atau pergi ke kebun menanam jagung lalu menunggu panen.

Menikmati hasil kerja sendiri memang nikmat dan memuaskan. Tidak ada batas tertentu seperti saat di kota. Beli jagung dengan harga tinggi tapi jumlahnya yang terbatas. Misal.

Rasanya begitu damai. Bekerja dan menikmati hasil jerih payah. Hati dan pikiran saling support menyambut realita. Ditambah suasana kebun yang begitu sejuk di kaki gunung "Bulu Saukang". Jauh dari polusi, aktivitas urban, dunia kampus, juga virus yang tak kasat mata itu.(*)

signature
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url